Oleh Aguk Irawan MN
Akhir-akhir ini situasi sosial benar-benar kurang kondusif. Seorang ustad dianggap telah ”melukai” jemaat Gereja. Begitu sebaliknya, seorang Pendeta dianggap telah ”melukai” jamaah Masjid. Lalu di Medsos, orang perang pasal hukum penodaan agama dan kata-kata kebencian. Tetapi, lebih dari itu, belum lupa ingatan kita, akan berita kekerasan, bahkan terjadi sesama saudara ”muslim.”Salah satunya, sebutlah pembakaran sebuah pesantren di Sampang oleh sekelompok massa-Islam, yang kabarnya, pesantren itu dibakar hanya lantaran disinyalir mengikuti ajaran Syiah.
Bahkan, jauh sebelum itu, berita kekerasan sudah terlampau biasa ketika dialamatkan pada sekelompok pengikut ajaran Ahmadiyah. Sungguh —berita kekerasan demi kekerasan seperti itu lenyap begitu saja dari perhatian saya, tetapi setelah merenung, kami menemukan sejumlah kata kunci dari karakter pemikiran filsafat kontemporer yang barangkali bisa sebagai pil pahit atas situasi ini, seperti adanya istilah; 'defecit of truth', 'assertion', 'habit of mind', ' method of tenacity', 'inquiry-investigation'.
Istilah-istilah seperti itu bisa menghadang kejadian ganjil itu. Sayup-sayup saya merasa seperti terkena sabetan sebuah pisau yang tajam, kemudian berdarah dan melukai dada saya. Sambil terkapar saya berpikir; rasanya ada yang tertikam dari cara kebegaramaan kita. Ada yang hendak mencoba merebut 'makna' kebenaran hanya menjadi milik kelompoknya saja. Dengan cara memaksa, apapun itu resikonya. Ada suatu lobang yang menganga dan belum coba ditambal dengan rapat oleh bangku pendidikan-Islam kita.
Kini, terlanjur menjadi sebuah mimpi yang paling buruk; kejumudan berpikir, kejumudan bertindak, kejumudan beragama, dan kejumudan lainnya, sehingga orang jadi enggan, bahkan mungkin 'tak sudi' menerima 'the others' sebagai realitas dari hidup kita yang beraneka.Anehnya, kebanyakan dari kita, cenderung membiarkan peristiwa demi peristiwa yang memilukan dan nyeri itu terus terjadi. Sebagai hal yang terlalu lumrah ada di depan mata kita.
Bahkan, ada yang menganggap kekerasan seperti itu sebagai jalan menuju kebaikan dan kebenaran atas nama Tuhan. Sungguh, di tengah majemuknya filsafat postmodernisme, yang telah mengangkat dunia Barat (Amerika) telah setapak lebih maju dan beradab. Mayoritas dari kita masih nampak begitu limbung dan linglung, karena diam-diam telah menyimpan teologi kekerasan sebagai daya pikat yang magis untuk Islam kita. Islam, yang sebanarnya adalah rahmatan lil alamin.
Ada yang mengatakan, cara kekerasan seperti tersebut sengaja dipilih, adalah demi suatu amar ma'ruf dan nahi mungkar. Ada yang mengatakan, demi keberlangsungan din al-hanif. Ada yang mengatakan, demi terlindunginya umat dari ajaran sesat. Ada lagi yang mengatakan sebagai 'jihad' melawan kebatilan. Karena itu, mesti harus dilakukan dan wajib peduli. Lihatlah betapa banyak tangan yang dikepalkan, jari telunjuk yang diacung-acungkan ke langit, dan bibir mereka bergerak dengan menyebut-nyebut kalimat Jalalah; Allahu Akbar, Allahu Akbar!
Sungguh, andaikan mereka membaca dan tahu apa saran Lieven Boeve dalam The Particularity of Relegious Truth Claims, atau menyimak dengan baik teori inevestigasi-kebenaran model Charles Peirce dalam How I Make our Ideas Clear atau membedah pikiran antropologi-agama Talal As'ad dalam Geneologies of Relegion. Mungkin mereka ini akan tertohok dan malu. Karena disitulah mayoritas dari kita seperti sedang bercermin dan melihat rupa buruk kita: 'intoleransi', sebagaimana dahulu kebanyakan orang Barat-Kristiani hidup di abad Medieval.
Contoh intoleransi itu, dalam bahasa Charles Peirce, punya alasannya sendiri, yaitu karena mereka malas melakukan prosedur ilmiah (rasional) dalam segala tindakan dan keyakinannya. Peirce mengklasifikasikan mereka sebagai orang yang cenderung jumud atau ‘a priori’, padahal sebagai metode, ‘a priori’ dituntut menghadirkan rasionalitas (Milton K. Munitz, Contemporery Analitic Philosopy. New York; Macmilan Publishing Co. Inc. 1981, hal. 40).
Sementara Talal As’ad, sebagai antropolog-agama, metengarai; bahwa penolakan terhadap kebenaran di luar dirinya itu karena mereka tidak mencoba membuka diri untuk dinamis dan terlibat di luar dunianya, jadi formulasi pemaknaan terhadap kebenaran yang sangat subyektif dan fanatik itu harus diatasi dengan merunut ke agar geniologi-antropoliginya. Karena menurutnya, pemaknaan agama sejatinya bersifat ’spatio-temporal. (Talal As’ad, Geneologies of Relegion (London;The John Hopkins University Press, 1993, hal. 53)
Selain dialektika antropologi model Talal. Lieven Boeve mencoba mencari solusi dari ruang buntu itu. Teori ’deficit of truth’ ia gunakan untuk memeriksa kebenaran-kebenaran partikular yang terdapat pada kelompok pemeluk agama-agama. Menurutnya, setiap agama menyimpan kebenaran yang partikular, dan kebenaran universal terdapat pada kesatu-paduan (contingent) dari masing-masing kebenaran tersebut. Apabila satu agama menganggap dirinya sendiri sebagai pemegang kebenaran secara mutlak, maka saat itulah defisit kebenaran terjadi.
Menurutnya lagi, tidak boleh tidak, sejarah kebenaran teologis harus selalu diperiksa ulang dan dilakukan rekontektualisasi (recontextualization), hingga betul-betul menjadi lebih terpercaya. (Lieven Boeve, “The Particularity of Religious Truth Claims: How to Deal With It In A So-Called Post-Modern Context”, dalam Truth: Interdisciplinary Dialogues In A Pluralist Age, editor. Christine Helmer dan Kristin De Troyer, Peeters: Leuven-Paris-Dudley, 2003, hal.193).
Barangkali analisa ini bisa kita gunakan pada ranah yang lebih mikro, yaitu kelompok pemeluk Islam sendiri. Sebab kenyataannya, terma kafir, murtad, sesat dan justifikasi negatif semacamnya masih sering mendengung di telinga kita. Di era postmo ini!
Benih-Benih Kejumudan
Peristiwanya masih hangat. Belum terlalu lama dari momentum tahun baru. Sehabis shalat Isya, seperti biasanya tiap Malam Kamis, saya terkadang menyimak pengajian dari seorang Kiai. Beliau membaca kitab Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadhus Shalihin, karangan Syaikh Salim bin Ied Al Hilali. Setelah bab salam selesai dibacakan, salah satu jama’ah ada yang memberanikan diri bertanya; Kiai, bagaimana hukumnya menjawab salam dari saudara kita yang non-muslim? Kiai itu tanpa sedikitpun ragu menjawab; haram hukumnya! Katakan pada mereka, seperti inilah ajaran Islam kami!.
Dalam hati, benarkah begitu Kiai? Saya kemudian meraba sendiri jawabnya: Sang kiyai menjawab seperti itu, karena ia alpa membaca antropologi dan sejarah. Dari sinilah saya seperti disadarkan pada Charles Pierce, Talal As’ad, Paul Tillich, Habermas dan tentu saja Wittgenstein, bahwa pembacaan teks tak bisa dibiarkan sendirian, sebab disana ada peran lain yang tak kalah pentingnya; pergulatan bahasa, ruang, simbol, sejarah dan antropologi.
Cerita seperti ini, tentu bisa ditarik lebih panjang. Misalnya kita kaitkan pada prosedur pengajaran ulumuddin (agama Islam) di hampir semua pesantren, perguruan Tinggi Islam, baik swasta maupun negeri, seperti IAIN/UIN dan pengajian-pengajian umum. Tentu cerita itu tak akan jauh berbeda dari temuan saya. Betapa mirisnya! Bangku pendidikan Islam kita ternyata lebih gemar melindungi diri dari dinimika luar, dan bercokol hanya di wilayah nalar apriori agama an-sich (ulumuddin), dengan tanpa mempedulikan ilmu-ilmu modern yang telah memberi sumbangan pada kemanusian dan peradaban.
Sisi lain, ranah studi Islam (dirasah Islamiyah) secara kritis dan komperhensif hampir-hampir saja tak tersentuh. Padahal, bila kita gunakan teori investigasi-sejarah Charles Peirce misalnya, kita akan dapati betapa berlimpahnya kontak baik antara muslim dan non muslim di zaman Nabi. Rasulallah bukanlah seorang yang hidup di lingkungan terkengkang dan penuh nafsu fanatisme. Tapi ia seorang toleran sejati. Sejak belia ia sudah pergi ke tanah Syam, kemudian kelak setelah dewasa dan jadi pemimpin, ia mengadakan persahabatan dengan kerajaan Roma dan Negus.
Kalau begitu apa benar salam terhadap non muslim hukumnya adalah haram? Disinilah letak urgen dan tak bisa ditinggalkannya pendekatan sosial-antropologi agama itu. Sekiranya tanpa itu, benih-benih kejumudan akan beranak-pinak menjadi teologi kekerasan? Dan sekarang hasilnya sudah kita petik bersama. Bahkan berlimpah pula.
Mengenal antropologi agama berarti mengenal dan melihat proses dengan jelas tarik-menarik kepentingan dan pemaknaan teks, antara hasrat agama sebagai realitas (teks) atau hasrat pemikiran agama, yang cenderung memihak pada suatu konteks dan logika zamannya. Antropologi akan metengahkan mana sesunggunya realitas atau teks dan mana pengaruh dari luar? Sehingga cerita kejumudan demi kejemudan berangsur pudar dan tercerahkan.
Kerja intelektual seperti itulah yang sudah dilakukan oleh Khalil Abdul Karim, Nashr Hamid Abu Zaid, Mohammed Arkoun, Fattima Mernisi, Abdullahi Ahmed An-Naim, Sayyid Qumni dan Said Al-Asymawi dalam memahami teks dan hukum Islam. Cendekiawan kondang Hasan Hanafi, menyebut mereka sebagai orang-orang yang tercerahkan oleh peradaban Barat (Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyyah, (Kairo: Maktabah al-Anglo al-Mishriyyah, tt, hal. 275).
Karena, problem besar di abad ini yang masih sering mencuat di dunia Islam adalah persoalan identifikasi, antara orisinalitas dan modernitas (al-Ashâlah wa al-Mu’âshirah). Misalnya pada diskursus “demokrasi”, persoalan yang sering mencuat adalah pertanyaan seputar, apakah ia benih dari tradisi Islam (Arab) atau dari tradisi Barat yang sekuler, (repesentatif dari modernitas)? Masing-masing punya argumentasi sendiri. Bagi Hasan Hanafi, wacana revitalisasi agama (al-Ishlâh al-Dînî) yang berkembang sekarang ini, secara mayoritas masih saja bersifat jumud, dan masih mengarah mencari apa yang orang sebut dengan ‘orisinil’ itu.
Karena itu Hasan Hanafi menyatakan, diskursus ’orisinalitas’ dengan meninggalkan modernitas menurutnya adalah suatu kemustahilan, begitu sebaliknya. Karenanya ia mengkritik kelompok fundamentalisme yang cenderung mencari ”orisinil” dengan mengabaikan sesuatu yang baru, atau datang kemudian (posmodernitas). Menurutnya sikap seperti itu cenderung mengabaikan “realitas”, dan terlampau apriori serta bangga dengan kegemilangan masa lampau (Fakhr bi al-Târikh al-Qadîm). Sebaliknya, bagi pemuja modernitas, ia juga mengkritik, kecenderungan seperti itu berlebihan, sebab bagaimanapun, babak baru (al-Judzuriyah al-Mubkirah) tak akan lahir tanpa masa lalu ”orisinalitas.” (Hassan Hanafi, Fî Fikrinâ al-Mu’âshir, (Beirut: Dar al-Tanwir, 1981, hal. 49-50)
Bagi yang jumud (fundamentalisme), ‘yang orisinil’ akan terus sebagaimana bentuk asal, dan tak boleh berubah, bahkan ‘esensi’nya pun tak bisa fleksibel. Karenanya, respon mereka terhadap modernitas sangat negatif. Namun, di tengah kubu itu ada yang memahami bahwa ‘orisinil’ itu ada, tetapi ia boleh berubah,bahkan harus berubah, agar tak menghalangi –secara interaktif—dengan modernitas (Hassan Hanafi, Fî Fikrinâ al-Mu’âshir, (Beirut: Dar al-Tanwir, 1981 hal. 49-50).
Salah satu tokoh yang berada di kubu ini adalah Khalil Abdul karim. Misalnya, konsep syura yang ada dalam dunia Islam (Arab) dengan demokrasi-ala Barat, adalah suatu contoh kongkrit apa yang disebut orang dengan kontak peradaban simbiosis-mutualisme antara ’orisinilitas’ (Arab/Islam) dan ’modernitas’ (Barat).
Khalil menyebut konsep syura merupakan sistem masyarakat madani (civil society), karena berkaitan erat dengan tatanan perpolitikan suatu bangsa, yang kelak terkait erat dengan demokrasi. Ia juga termasuk persoalan-persoalan dunia sebagaimana interaksi jual-beli (bai’), persewaan, akad muzara’ah, bercocok tanam, dan akad musyaqqah, serta persoalan lain. Dengan kata lain, konsep syura ini merupakan sistem masyarakat madani yang didasarkan pada perundang-undangan Islam (syari’ah Islmiyyah), baik dari teks al-Qur’an maupun hadits.( Khalil Abdul Karim, Al-Islam baina ad-Daulah Diniyah wa al-Madaniyah., hal. 133). Khalil, adalah salah satu ulama Islam yang bisa menjelaskan itu dengan prosedural ilmiah, karena ia tahu bagaimana memerlakukan teks dan konteks itu. Itulah hasil perjumpaannya dengan metedologi Barat (Amerika).
Salah satu karya monumentalnya adalah buku: "Judzur al-Tarikhiyah li al Syari’ah al-Islamiyyah” (Akar Sejarah Syari’ah Islam). Dalam buku ini, Khalil mencerminkan sikapnya terhadap tiga hal sekaligus, yaitu keyakinannya, pandangannya dan rekontruksi pemikiran terhadap fenomena kekinian dan terhadap masa lalu. Berangkat dari keyakinannya ia melihat fenomena kekinian yang berkembang di kalangan masyarakat muslim dalam melihat Islam. Sebab adanya kecenderungan dari sebagian besar masyarakat tersebut untuk mengidolakan masa lampau, terutama masa kenabian dan kekhalifaan pertama, maka ia menguji dan menginvestigasi secara antroplogogis masyarakat pada masa tersebut. Khalil tidak hanya berhenti di era itu, akan tetapi juga berusaha membuktikan bahwa era tersebut pada dasarnya merupakan perpanjangan dari era sebelumnya.
Sebagaimana juga yang tertuang dalam bukunya:“Al-Usus al-Fikriyah li Islam Yasar” (Dasar Manifesto Kiri Islam), Khalil juga punya beberapa prinsip yang dipegangnya. Pertama: Historisitas teks-teks suci, semua orang yang mengucapkan dua kalimat syahdat adalah sebagai Muslim, meskipun misalnya dalam keadaan terpaksa. Kedua, Kekhalifaan merupakan jabatan yang bersifat sipil-politik, semua orang selain Nabi banyak kekhilafannya. Sehinga dapat dikritik, karena mereka hanya manusia biasa. Islam agama inklusiv, dan agama merupakan revolusi terhadap keyakinan-keyakinan yang keliru, situasi-situasi sosial yang rusak dan eksploitatif.
Perinsip-perinsipnya tidak hanya berseberangan dengan kelompok-kelompok fundamentalis Mesir— yang berkeinginan menjadikan Mesir sebagai Negara Islam (dengan sistim kekhalifahan)— akan tetapi, juga berseberangan dengan kelompok ortodoks yang sangat dominan di negeri itu. Melalui prinsip-prinsip ini ia mencoba menunjukkan kebenaran keyakinanya dan kekeliruan kelompok-kelompok tersebut. Upaya tersebut ia lakukan dengan jalan mengkaji era awal, yaitu kenabian, dan kekhilafan pertama di satu sisi dan era sebelum kenabian di sisi lain.
Tetapi apa yang telah diupayakan oleh Khalil, ternyata oleh pihak lain, dimentahkan. Bahkan ia justru dituding sebagai anti-Islam dan dihukumi halal darahnya. Lagi, betapa kejumudan masih melingkupi dunia islam, dan masih begitu kokohnya. Nyaris belum begitu tersentuh. Namun orang seperti Khalil sadar, perjuangan memang terasa getir dan payah. Kasus yang serupa, bahkan lebih, telah berjibun di depan mata kita, seperti beberapa fatwa yang sangat “aneh” dari MUI, mengenai beberapa kasus sosial-keagamaan,, juga datang dari Menteri Agama dan Lembaga Islam lainnya.Untuk di negeri ini, apakah mungkin hari masih terlalu pagi? (Wallahu’alam bishawab).
*Penulis tinggal di Jogja
Agustus 2019.