Sejarah nanti akan menunjukkan” merupakan kalimat yang sering dikemukakan Gus Dur. Dan kini sejarah itu ditemukan secara kebetulan.
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan “kebetulan”, dan melaluinya lahir peristiwa-peristiwa besar, dan darinya pula tersingkap peristiwa lama yang selama ini telah tertutup awan gelap.
Demikianlah, “kebetulan” itu bekerja melalui jurnalis Virdika Rizky Utama. Bukan siapa-siapa. Bukan akademisi terkemuka. Bukan peneliti dari mancanegara yang kerap dipuja. Rizky hanya seorang jurnalis muda, dengan hasrat ingin tahu yang terus menyala.
Pada suatu hari dia berkunjung ke Gedung Golkar dan tanpa sengaja menemukan sebuah dokumen yang sangat berharga, yang saat itu sudah hendak dikilokan. Dokumen itu berupa sebuah surat antara dua mantan pejabat Orde Baru yang berisi skenario pelengseran Gus Dur dari kursi kepresidenan.
Bukankah itu suatu kebetulan karena biasanya orang harus menunggu paling lambat 50 tahun sebuah dokumen berkait dengan peristiwa politik akan dibuka?
Dan ketika dibuka, para pelaku yang terlibat di dalamnya biasanya sudah meninggal semua. Atau tak jarang sebuah peristiwa bahkan tak pernah terungkap sama sekali. Abadi menjadi misteri.
Tapi ini, belum berselang 20 tahun, dan persis 10 tahun setelah Gus Dur wafat, lakon pelengseran itu diungkapkan.
Dokumen itu kemudian dibunyikan melalui serangkaian wawancara dan investigasi, riset ala jurnalis, yang menghasilkan sebuah tulisan panjang dalam bentuk buku berjudul Menjerat Gus Dur terbitan Numedia, Desember 2019.
Buku itu dengan demikian telah membuka tabir yang tersimpan lama, yang telah membuahkan misteri dan mitos bertahun-tahun bahwa: Gus Dur terlibat Buloggate dan Bruneigate. Gus Dur tidak kapabel untuk memerintah. Gus Dur terlalu cerdas untuk menjadi presiden. Dan lain-lain.
Semuanya ingin menyampaikan pesan yang pada dasarnya sama: Gus Dur tidak layak menjadi presiden dan pantas untuk (di)jatuh(kan).
Pada kenyataannya, seperti terungkap dalam buku itu, Gus Dur dijatuhkan oleh persekutuan kekuatan-kekuatan lama yang kekuasaannya telah dihabisi dan kekuatan-kekuatan baru yang bernafsu untuk berkuasa. Melalui dukungan modal yang besar, dan jaringan politik lama yang masih solid, serta media, Gus Dur pun jatuh.
***
Sebenarnya sejak dulu pun saya—dan saya yakin banyak kalangan juga—percaya bahwa Gus Dur itu dikudeta. Dijatuhkan melalui serangkaian konspirasi yang licik dan jahat.
Saya ingat beberapa minggu sebelum penjatuhan, saya bertemu Alissa Wahid, yang kala itu sedang mengikuti sebuah seminar di Gedung Wanitatama, Jogja.
Kala itu kami berbincang sebentar, dan seingat saya, saya dan Alissa sudah punya keyakinan cukup besar bahwa Gus Dur akan dijatuhkan karena memang aroma konspirasi untuk menjatuhkan tersebut sudah terembus sangat kuat.
Agenda penjatuhan ini pasti sedang dipikirkan dan diusahakan karena selama berkuasa Gus Dur memang benar-benar menjalankan agenda Reformasi.
Seperti menantang dengan serius kekuatan-kekuatan politik lama, baik sipil maupun militer. Penghapusan dwifungsi ABRI, yang selalu diteriakkan para demonstran selama aksi protes, yang dilakukan Gus Dur dengan sangat berani dan elegan, adalah salah satu contoh. Agenda Reformasinya jelas menyentuh kepentingan banyak kalangan, terutama kekuatan politik lama.
Dan benar, Gus Dur kemudian dijatuhkan dari kerja persekongkolan tersebut. Hanya saja bagaimana persekongkolan itu dibangun, siapa-siapa saja para pemainnya, selama ini hanya tudingan tak berdasar. Gelap bagai langit tak berbintang. Nama-nama yang muncul hanya sengkarut dugaan spekulatif.
Buku Menjerat Gus Dur dengan demikian memberi sedikit penerangan pada peristiwa tersebut: bagaimana narasi dibangun, rincian dibuat, dan siapa saja pelakunya. Ia telah memberikan gambaran besar dan detil bagaimana pelengseran itu dilakukan. Siapa yang memainkan dan siapa yang dimainkan. Ia juga telah menggeser beberapa dugaan mapan yang beredar sebelumnya.
Sebagai contoh, nama Amien Rais selama ini sering dituduh sebagai arsitek utama penjatuhan itu. Dengan demikian, kesan sosok Amien Rais sangat sakti dan hebat. Tetapi buku ini membantah sekaligus membenarkan.
Membantah bahwa dia merupakan arsitek utama, tetapi tetap membenarkan keterlibatannya dengan menyebutnya hanya sebagai operator lapangan. Kesannya jadi mencair dari “memainkan” menjadi “dimainkan”.
Sebaliknya, sosok yang dianggap sebagai arsitek utama adalah Akbar Tandjung, yang perannya justru tak banyak disebut di dalam rumor penjatuhan. Dialah sumbu dari ikhtiar penjatuhan tersebut.
Selain menjadi Ketua Umum Golkar, Akbar Tanjung adalah alumni HMI, yang para anggotanya banyak menjadi politisi, pejabat tinggi, dan pengusaha, serta telah membentuk jaringan dan lingkaran kepentingan yang kuat sejak masa Orde Baru.
Ketua Korp Alumni HMI (KAHMI) adalah Fuad Bawazier, mantan menteri keuangan yang ditolak Gus Dur mentah-mentah ketika ditawarkan kembali sebagai menteri keuangan. Fuad Bawazier berperan menjalankan dan sekaligus menggalang dana untuk operasi penjatuhan ini.
Akbar Tandjung jelas bukan nama baru dalam suatu konspirasi politik. Dia memiliki reputasi mengenai hal ini. Saya ingat laporan Tempo pada awal reformasi yang menelusuri bagaimana dan mengapa Soeharto bisa jatuh.
Ada banyak faktor dan kisah di dalamnya. Demonstrasi mahasiswa, rupiah yang jeblok, ekonomi yang kacau, tekanan para intelektual, dan yang penting diingat juga mundurnya secara serentak dan bersamaan sejumlah menteri. Ini merupakan penggerogotan dari dalam atas legitimitas kekuasaan Soeharto.
Para menteri itu adalah menteri-menteri anggota KAHMI. Yang menggalang aksi pengunduran itu adalah Akbar Tanjdung, yang menjadi ketua DPR RI saat itu dan di era Habibie menjabat menteri sekretaris negara. Hanya seorang dari mereka yang menolak ajakan Akbar, yaitu Sa’adillah Mursjid, menteri sekretaris negara persis sebelum Akbar Tandjung.
Akbar Tandjung dan lingkarannya tahu kapan berjalan lurus dan kapan mesti belok. Kapan menunduk dan kapan mendongakkan kepala. Kapan harus setia dan kapan berkhianat.
Konon, Soeharto dan keluarganya tak pernah lagi mau bersua dengan rombongan menteri yang mundur dari pimpinan Akbar Tandjung cs. ini. Mereka rupanya sangat sakit hati merasa dikhianati. Jelas kekalahan karena pengkhianatan kawan jelas jauh lebih menyakitkan daripada takluk dihantam lawan.
Akbar adalah politisi yang lihai dan licin. Pada masa awal Reformasi, dia dijerat perkara korupsi. Tapi selalu bisa lolos dari jeratan. Saya kira dialah representasi humor Gus Dur yang terkenal tentang dua organisasi ekstra mahasiswa Islam yang bagai Tom and Jerry itu: “HMI menghalalkan segala cara, sementara PMII tidak tahu caranya.”
***
Apa yang menarik dari penyingkapan peristiwa ini? Saya setuju dengan Alissa Wahid bahwa pengungkapan ini bukan untuk balas dendam, tapi soal bagaimana kita bisa belajar dari peristiwa sejarah ini.
Pertama, ini bukan perkara penjatuhan Gus Dur semata, tapi sebuah pelajaran bagaimana konspirasi politik yang disokong oleh kekuatan oligarki Orde Baru bekerja. Dan penjatuhan ini telah menjadi rute awal mulai terseoknya agenda Reformasi dan titik masuk kembalinya para politisi Orde Baru, yang jejak dan pengaruhnya kita lihat dan rasakan hingga sekarang ini. Jalan Reformasi menjadi sangat terjal.
Dan perlahan sejak itu, Reformasi tinggal semata sebagai slogan.
Yang kedua, mengenai peran intelektual. Dalam buku itu, disebutkan peran beberapa intelektual. Tetapi jika kita membaca secara saksama, akan tampak di sana peran mereka sekadar “dimainkan”.
Kegemaran para intelektual memberikan komentar berdasarkan apa yang dilihat di permukaan dan kebiasaan media menjadikan para intelektual ini sebagai selebritas; membuat para intelektual sangat mudah dimainkan. Mereka tidak punya mata batin untuk melihat fakta-fakta di balik peristiwa dan berpuas diri dengan fenomena di permukaan.
Dengan sangat naif, mereka mengomentari kejadian berdasar apa yang mereka lihat di depan rumah, dan memang mereka tak punya akses untuk melihat lebih jauh apa yang berlangsung di dalam rumah. Karena untuk ini mereka harus menunggu waktu lebih lama dan membutuhkan mata batin yang lebih dalam. Mereka tak bisa menunda, karena kamera televisi dan mikrofon seminar telah menunggu.
Selain kalangan intelektual, kelompok Islam garis keras dan lembaga-lembaga keislaman “diperalat” juga untuk mendeligitimasi Gus Dur.
Dari sini kita bisa belajar memandang fenomena politik sekarang di mana massa dan lembaga-lembaga keagamaan seperti MUI bukan semata bekerja untuk kepentingan administrasi penduduk yang beragama Islam. Ia sering juga dipolitisasi dan jejaknya mengenai hal ini terentang sejak dulu, seperti terlihat dalam konspirasi penjatuhan Gus Dur ini.
***
Buku Menjerat Gus Dur konon telah habis terjual dan pemesanannya—sampai tulisan ini ditayangkan—masih terus berlangsung. Ulasannya sudah beredar luas di media sosial. Karena itu kita dihadapkan pada kebetulan lain, kebetulan beberapa tokoh yang disebut terlibat masih hidup.
Tetapi yang mengejutkan sebagian dari mereka yang disebut tak ke mana-mana karier politiknya. Lebih banyak menjadi petualang politik, dan sebagian lagi malah masuk penjara karena kasus korupsi.
Kebetulan lagi, sejauh ini belum ada seorang pun dari mereka yang memberikan tanggapan. Maka bisakah dikatakan berbagai kebetulan ini telah membawakan “kebenaran”?
Saya tak punya kapasitas untuk meyakini atau pun membantah argumentasi yang dikembangkan buku tersebut. Karena tidak ada yang mutlak benar, maka saya masih menyediakan—sekitar—dua persen ruang untuk meragukan jika ada tanggapan yang lebih argumentatif dan meyakinkan.
***
Siapa pun yang membaca buku ini, terutama para pendukung Gus Dur, mungkin hatinya akan terbakar dan mendidih. Konspirasi itu memang banal dan menjijikkan. Tetapi tak perlu marah berlebihan. Ia harus disikapi dengan bijak bahwa memang tidak mudah untuk menjalankan amanah Reformasi.
Di sisi lain, juga harus diakui bahwa dibutuhkan kelompok yang lebih besar, solid, dan memang berkomitmen keras pada Reformasi. Jika tidak, Reformasi hanya akan menjadi isapan jempol. Pada kenyataannya Gus Dur tidak memiliki kekuatan dan dukungan yang solid. Reformasi jelas tak cukup dengan niat baik.
“Sejarah nanti akan menunjukkan” adalah klausa dengan berbagai variasi kalimat yang sering dikemukakan Gus Dur. Kini sejarah itu melalui penemuan “kebetulan” sebuah dokumen telah menunjukkan apa yang sesungguhnya terjadi dan berlangsung hingga kini.
Reformasi telah dirampas sejak dini dan yang kita teriakkan tentang Reformasi hanya mimpi.
Penyingkapan ini jelas memunculkan rasa muak terhadap elite politik dengan berbagai agenda aliansinya, yang sebenarnya tak lebih dari konsolidasi oligarki. Tetapi, apakah penyingkapan ini bisa mendorong kesadaran baru akan pentingnya politik yang lebih bermartabat, berkemanusiaan, dan berpihak pada keadilan dan kesejahteraan rakyat?
Barangkali itulah pertanyaan pentingnya.
Jangan sampai, kita menjadi layaknya celetukan Gus Dur yang bisa dimodifikasi di segala situasi itu. Bahwa…
“Oligarki menghalalkan segala cara, sementara kita tidak tahu cara melawannya.”
Sudah pernah dimuat dengan judul kebenaran gusdur yang serba kebetulan di :
https://mojok.co/hrs/esai/kebenaran-gus-dur-yang-serba-kebetulan/
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan “kebetulan”, dan melaluinya lahir peristiwa-peristiwa besar, dan darinya pula tersingkap peristiwa lama yang selama ini telah tertutup awan gelap.
Demikianlah, “kebetulan” itu bekerja melalui jurnalis Virdika Rizky Utama. Bukan siapa-siapa. Bukan akademisi terkemuka. Bukan peneliti dari mancanegara yang kerap dipuja. Rizky hanya seorang jurnalis muda, dengan hasrat ingin tahu yang terus menyala.
Pada suatu hari dia berkunjung ke Gedung Golkar dan tanpa sengaja menemukan sebuah dokumen yang sangat berharga, yang saat itu sudah hendak dikilokan. Dokumen itu berupa sebuah surat antara dua mantan pejabat Orde Baru yang berisi skenario pelengseran Gus Dur dari kursi kepresidenan.
Bukankah itu suatu kebetulan karena biasanya orang harus menunggu paling lambat 50 tahun sebuah dokumen berkait dengan peristiwa politik akan dibuka?
Dan ketika dibuka, para pelaku yang terlibat di dalamnya biasanya sudah meninggal semua. Atau tak jarang sebuah peristiwa bahkan tak pernah terungkap sama sekali. Abadi menjadi misteri.
Tapi ini, belum berselang 20 tahun, dan persis 10 tahun setelah Gus Dur wafat, lakon pelengseran itu diungkapkan.
Dokumen itu kemudian dibunyikan melalui serangkaian wawancara dan investigasi, riset ala jurnalis, yang menghasilkan sebuah tulisan panjang dalam bentuk buku berjudul Menjerat Gus Dur terbitan Numedia, Desember 2019.
Buku itu dengan demikian telah membuka tabir yang tersimpan lama, yang telah membuahkan misteri dan mitos bertahun-tahun bahwa: Gus Dur terlibat Buloggate dan Bruneigate. Gus Dur tidak kapabel untuk memerintah. Gus Dur terlalu cerdas untuk menjadi presiden. Dan lain-lain.
Semuanya ingin menyampaikan pesan yang pada dasarnya sama: Gus Dur tidak layak menjadi presiden dan pantas untuk (di)jatuh(kan).
Pada kenyataannya, seperti terungkap dalam buku itu, Gus Dur dijatuhkan oleh persekutuan kekuatan-kekuatan lama yang kekuasaannya telah dihabisi dan kekuatan-kekuatan baru yang bernafsu untuk berkuasa. Melalui dukungan modal yang besar, dan jaringan politik lama yang masih solid, serta media, Gus Dur pun jatuh.
***
Sebenarnya sejak dulu pun saya—dan saya yakin banyak kalangan juga—percaya bahwa Gus Dur itu dikudeta. Dijatuhkan melalui serangkaian konspirasi yang licik dan jahat.
Saya ingat beberapa minggu sebelum penjatuhan, saya bertemu Alissa Wahid, yang kala itu sedang mengikuti sebuah seminar di Gedung Wanitatama, Jogja.
Kala itu kami berbincang sebentar, dan seingat saya, saya dan Alissa sudah punya keyakinan cukup besar bahwa Gus Dur akan dijatuhkan karena memang aroma konspirasi untuk menjatuhkan tersebut sudah terembus sangat kuat.
Agenda penjatuhan ini pasti sedang dipikirkan dan diusahakan karena selama berkuasa Gus Dur memang benar-benar menjalankan agenda Reformasi.
Seperti menantang dengan serius kekuatan-kekuatan politik lama, baik sipil maupun militer. Penghapusan dwifungsi ABRI, yang selalu diteriakkan para demonstran selama aksi protes, yang dilakukan Gus Dur dengan sangat berani dan elegan, adalah salah satu contoh. Agenda Reformasinya jelas menyentuh kepentingan banyak kalangan, terutama kekuatan politik lama.
Dan benar, Gus Dur kemudian dijatuhkan dari kerja persekongkolan tersebut. Hanya saja bagaimana persekongkolan itu dibangun, siapa-siapa saja para pemainnya, selama ini hanya tudingan tak berdasar. Gelap bagai langit tak berbintang. Nama-nama yang muncul hanya sengkarut dugaan spekulatif.
Buku Menjerat Gus Dur dengan demikian memberi sedikit penerangan pada peristiwa tersebut: bagaimana narasi dibangun, rincian dibuat, dan siapa saja pelakunya. Ia telah memberikan gambaran besar dan detil bagaimana pelengseran itu dilakukan. Siapa yang memainkan dan siapa yang dimainkan. Ia juga telah menggeser beberapa dugaan mapan yang beredar sebelumnya.
Sebagai contoh, nama Amien Rais selama ini sering dituduh sebagai arsitek utama penjatuhan itu. Dengan demikian, kesan sosok Amien Rais sangat sakti dan hebat. Tetapi buku ini membantah sekaligus membenarkan.
Membantah bahwa dia merupakan arsitek utama, tetapi tetap membenarkan keterlibatannya dengan menyebutnya hanya sebagai operator lapangan. Kesannya jadi mencair dari “memainkan” menjadi “dimainkan”.
Sebaliknya, sosok yang dianggap sebagai arsitek utama adalah Akbar Tandjung, yang perannya justru tak banyak disebut di dalam rumor penjatuhan. Dialah sumbu dari ikhtiar penjatuhan tersebut.
Selain menjadi Ketua Umum Golkar, Akbar Tanjung adalah alumni HMI, yang para anggotanya banyak menjadi politisi, pejabat tinggi, dan pengusaha, serta telah membentuk jaringan dan lingkaran kepentingan yang kuat sejak masa Orde Baru.
Ketua Korp Alumni HMI (KAHMI) adalah Fuad Bawazier, mantan menteri keuangan yang ditolak Gus Dur mentah-mentah ketika ditawarkan kembali sebagai menteri keuangan. Fuad Bawazier berperan menjalankan dan sekaligus menggalang dana untuk operasi penjatuhan ini.
Akbar Tandjung jelas bukan nama baru dalam suatu konspirasi politik. Dia memiliki reputasi mengenai hal ini. Saya ingat laporan Tempo pada awal reformasi yang menelusuri bagaimana dan mengapa Soeharto bisa jatuh.
Ada banyak faktor dan kisah di dalamnya. Demonstrasi mahasiswa, rupiah yang jeblok, ekonomi yang kacau, tekanan para intelektual, dan yang penting diingat juga mundurnya secara serentak dan bersamaan sejumlah menteri. Ini merupakan penggerogotan dari dalam atas legitimitas kekuasaan Soeharto.
Para menteri itu adalah menteri-menteri anggota KAHMI. Yang menggalang aksi pengunduran itu adalah Akbar Tanjdung, yang menjadi ketua DPR RI saat itu dan di era Habibie menjabat menteri sekretaris negara. Hanya seorang dari mereka yang menolak ajakan Akbar, yaitu Sa’adillah Mursjid, menteri sekretaris negara persis sebelum Akbar Tandjung.
Akbar Tandjung dan lingkarannya tahu kapan berjalan lurus dan kapan mesti belok. Kapan menunduk dan kapan mendongakkan kepala. Kapan harus setia dan kapan berkhianat.
Konon, Soeharto dan keluarganya tak pernah lagi mau bersua dengan rombongan menteri yang mundur dari pimpinan Akbar Tandjung cs. ini. Mereka rupanya sangat sakit hati merasa dikhianati. Jelas kekalahan karena pengkhianatan kawan jelas jauh lebih menyakitkan daripada takluk dihantam lawan.
Akbar adalah politisi yang lihai dan licin. Pada masa awal Reformasi, dia dijerat perkara korupsi. Tapi selalu bisa lolos dari jeratan. Saya kira dialah representasi humor Gus Dur yang terkenal tentang dua organisasi ekstra mahasiswa Islam yang bagai Tom and Jerry itu: “HMI menghalalkan segala cara, sementara PMII tidak tahu caranya.”
***
Apa yang menarik dari penyingkapan peristiwa ini? Saya setuju dengan Alissa Wahid bahwa pengungkapan ini bukan untuk balas dendam, tapi soal bagaimana kita bisa belajar dari peristiwa sejarah ini.
Pertama, ini bukan perkara penjatuhan Gus Dur semata, tapi sebuah pelajaran bagaimana konspirasi politik yang disokong oleh kekuatan oligarki Orde Baru bekerja. Dan penjatuhan ini telah menjadi rute awal mulai terseoknya agenda Reformasi dan titik masuk kembalinya para politisi Orde Baru, yang jejak dan pengaruhnya kita lihat dan rasakan hingga sekarang ini. Jalan Reformasi menjadi sangat terjal.
Dan perlahan sejak itu, Reformasi tinggal semata sebagai slogan.
Yang kedua, mengenai peran intelektual. Dalam buku itu, disebutkan peran beberapa intelektual. Tetapi jika kita membaca secara saksama, akan tampak di sana peran mereka sekadar “dimainkan”.
Kegemaran para intelektual memberikan komentar berdasarkan apa yang dilihat di permukaan dan kebiasaan media menjadikan para intelektual ini sebagai selebritas; membuat para intelektual sangat mudah dimainkan. Mereka tidak punya mata batin untuk melihat fakta-fakta di balik peristiwa dan berpuas diri dengan fenomena di permukaan.
Dengan sangat naif, mereka mengomentari kejadian berdasar apa yang mereka lihat di depan rumah, dan memang mereka tak punya akses untuk melihat lebih jauh apa yang berlangsung di dalam rumah. Karena untuk ini mereka harus menunggu waktu lebih lama dan membutuhkan mata batin yang lebih dalam. Mereka tak bisa menunda, karena kamera televisi dan mikrofon seminar telah menunggu.
Selain kalangan intelektual, kelompok Islam garis keras dan lembaga-lembaga keislaman “diperalat” juga untuk mendeligitimasi Gus Dur.
Dari sini kita bisa belajar memandang fenomena politik sekarang di mana massa dan lembaga-lembaga keagamaan seperti MUI bukan semata bekerja untuk kepentingan administrasi penduduk yang beragama Islam. Ia sering juga dipolitisasi dan jejaknya mengenai hal ini terentang sejak dulu, seperti terlihat dalam konspirasi penjatuhan Gus Dur ini.
***
Buku Menjerat Gus Dur konon telah habis terjual dan pemesanannya—sampai tulisan ini ditayangkan—masih terus berlangsung. Ulasannya sudah beredar luas di media sosial. Karena itu kita dihadapkan pada kebetulan lain, kebetulan beberapa tokoh yang disebut terlibat masih hidup.
Tetapi yang mengejutkan sebagian dari mereka yang disebut tak ke mana-mana karier politiknya. Lebih banyak menjadi petualang politik, dan sebagian lagi malah masuk penjara karena kasus korupsi.
Kebetulan lagi, sejauh ini belum ada seorang pun dari mereka yang memberikan tanggapan. Maka bisakah dikatakan berbagai kebetulan ini telah membawakan “kebenaran”?
Saya tak punya kapasitas untuk meyakini atau pun membantah argumentasi yang dikembangkan buku tersebut. Karena tidak ada yang mutlak benar, maka saya masih menyediakan—sekitar—dua persen ruang untuk meragukan jika ada tanggapan yang lebih argumentatif dan meyakinkan.
***
Siapa pun yang membaca buku ini, terutama para pendukung Gus Dur, mungkin hatinya akan terbakar dan mendidih. Konspirasi itu memang banal dan menjijikkan. Tetapi tak perlu marah berlebihan. Ia harus disikapi dengan bijak bahwa memang tidak mudah untuk menjalankan amanah Reformasi.
Di sisi lain, juga harus diakui bahwa dibutuhkan kelompok yang lebih besar, solid, dan memang berkomitmen keras pada Reformasi. Jika tidak, Reformasi hanya akan menjadi isapan jempol. Pada kenyataannya Gus Dur tidak memiliki kekuatan dan dukungan yang solid. Reformasi jelas tak cukup dengan niat baik.
“Sejarah nanti akan menunjukkan” adalah klausa dengan berbagai variasi kalimat yang sering dikemukakan Gus Dur. Kini sejarah itu melalui penemuan “kebetulan” sebuah dokumen telah menunjukkan apa yang sesungguhnya terjadi dan berlangsung hingga kini.
Reformasi telah dirampas sejak dini dan yang kita teriakkan tentang Reformasi hanya mimpi.
Penyingkapan ini jelas memunculkan rasa muak terhadap elite politik dengan berbagai agenda aliansinya, yang sebenarnya tak lebih dari konsolidasi oligarki. Tetapi, apakah penyingkapan ini bisa mendorong kesadaran baru akan pentingnya politik yang lebih bermartabat, berkemanusiaan, dan berpihak pada keadilan dan kesejahteraan rakyat?
Barangkali itulah pertanyaan pentingnya.
Jangan sampai, kita menjadi layaknya celetukan Gus Dur yang bisa dimodifikasi di segala situasi itu. Bahwa…
“Oligarki menghalalkan segala cara, sementara kita tidak tahu cara melawannya.”
Sudah pernah dimuat dengan judul kebenaran gusdur yang serba kebetulan di :
https://mojok.co/hrs/esai/kebenaran-gus-dur-yang-serba-kebetulan/