Oleh : Dahlan Iskan
Sebenarnya sudah banyak juga yang menjalani tes virus Corona di Indonesia.
Yang di Surabaya saja sudah 10 orang. ”Semuanya negatif,” ujar Prof. Dr. Inge Lucida, direktur International Institute of Tropical Disease (ITD) Universitas Airlangga Surabaya.
Saya pun benar-benar ikut penasaran. Mengapa tidak ada virus Corona di Indonesia. Padahal, semua negara Asia sudah terkena. Sampai orang di luar negeri mengejek kita sebagai negara yang tidak mampu mendeteksinya.
Kemarin pagi, saya ke ITD Unair itu. Saya tahu Unair memiliki laboratorium penyakit tropis terbaik. Saya ditemui dua profesor yang ahli virus. Yakni Prof. Dr. Ni Nyoman Tri Puspaningsih dan Prof. Dr. Inge Lucida.
Prof. Nyoman adalah Wakil Rektor I Unair. Sedang Prof. Inge adalah direktur laboratorium penyakit tropis tersebut.
Begitu virus Corona mewabah, Unair mengadakan kontak intensif dengan Jepang. ITD memang didirikan berrsama dengan Jepang.
Setelah serangkaian pembicaraan Unair lantas berinisiatif membeli tiga set Primer yang bisa dipakai memeriksa virus Corona. Belinya ya di Jepang.
”Jadi, teknik, dan sarana pemeriksaan Corona di Unair sama dengan di Jepang,” ujar Prof. Inge.
Hasil pengetesan itu juga dites ulang di peralatan milik Kementerian Kesehatan. Hasilnya sama: negatif.
Yang dibeli itu bukan mesin, tapi Primer. Sejenis cairan tapi sudah dalam keadaan kering --agar bisa dibawa ke negara lain.
Mesin pemeriksanya sendiri Unair sudah lebih dulu memilikinya. Juga bantuan dari Jepang. Primer itulah yang dimasukkan ke mesin itu. Lantas materi yang akan diperiksa dimasukkan ke dalamnya.
Dan memang lab Unair ini bekerjasama dengan Kobe University. Sekarang pun ada tiga ahli dari Jepang yang ada di lab itu.
Waktu membeli senyawa itu Unair sampai tidak sabar. Terlalu lama kalau harus dikirim lewat Fedex atau EMS. Prof. Inge memutuskan untuk mengirim seorang staf di ITD berangkat ke Kobe.
Begitu tiba di Osaka, staf tersebut langsung ke Kobe University. Setelah mengambil senyawa tersebut ia langsung kembali ke Surabaya.
”Nah itu orangnya yang ke Jepang,” ujar Prof. Inge sambil menunjuk sang utusan yang lagi bertugas di ITD.
Prof. Inge sendiri mendapat gelar doktor di Kobe University. Dia adalah ”penduduk asli” Unair. Ayahnyi seorang dokter terkenal lulusan Unair. Ibunyi seorang apoteker dari kampus yang sama. Tiga saudaranyi juga dokter dari Unair. Hanya dua yang bukan dokter --tapi juga apoteker dan sarjana ekonomi Unair. Yang sarjana ekonomi itu kini memiliki bisnis lab kesehatan yang juga sangat terkenal di Surabaya.
Sekeluarga Unair semua.
Sedang Prof. Nyoman juga dikenal sebagai peneliti hebat bidang biokimia. Prof. Nyomanlah yang menemukan enzim untuk makanan ternak. Yang dulu pernah saya undang ke Kementerian BUMN untuk mempresentasikannya. Gelar S2-nyi dari ITB dan S3-nyi dari IPB. Prof. Nyoman juga pernah terpilih sebagai dosen teladan nasional selama tiga tahun.
Saat mampir ke ruang kerjanyi saya pun melihat hasil-hasil penelitian berbagai macam virus di laptopnyi. Prinsipnya virus itu punya kaki-kaki untuk memijakkan diri. Pijakannya adalah sel di alat penafasan manusia.
Setelah kaki-kaki virus memperoleh pijakan yang pas, barulah sang virus mengeluarkan penyakitnya.
Kalau saja tempat berpijak kaki-kaki itu tidak tepat sang virus tidak bisa berproduksi. Ibarat orang mau berak. Kalau kakinya tidak tepat di pijakan pupnya tidak bisa keluar.
Karena itu struktur virus tersebut harus benar-benar diketahui. Kini struktur itu sudah diketahui. Tanpa pijakan yang tepat virus tidak bisa berkembang. Maka obat yang akan ditemukan adalah obat yang akan bisa menipu virus. Yakni obat yang bisa membuat pijakan yang persis diperlukan virus. Tapi sebenarnya itu pijakan palsu. Dengan demikian virus tidak bisa mengeluarkan ”pup” nya.
Dari 10 orang yang pernah diperiksa di lab Unair itu sebagian adalah pasien rumah sakit. Sebagian lagi orang yang datang untuk memeriksakan diri. Semuanya dicurigai menderita virus Corona. Hasilnya: bersih.
Salah satu dari mereka adalah seorang dokter. Sang dokter seperti terkena flu. Putrinya baru pulang dari luar negeri. Maka muncul kekhawatiran tertular virus Corona.
Sang dokter pun memeriksakan diri ke lab Unair. Ternyata negatif.
Sampai sekarang pun semua yang pernah diperiksa itu baik-baik saja.
Senyawa yang dibeli dari Jepang itu sendiri cukup untuk memeriksa 100 orang. Hasil pemeriksaannya pun bisa diketahui dengan cepat: 5 jam kemudian. Itu karena tidak perlu antre.
”Siapa pun bisa memeriksakan diri ke sini,” ujar Prof. Inge, yang sehari-harinya di Pusat Penelitian Penyakit Tropik di kampus C Unair itu. ”Tentu harus membayar. Rp 1 juta,” ujarnyi.
Dua guru besar ini juga ikut penasaran: mengapa orang Indonesia tidak terkena virus Corona. Keduanya masih terus mencari jawabnya.
Tapi beliau juga tidak terlalu heran. Waktu Arab Saudi dilanda wabah virus MERS, Indonesia juga aman. Padahal, begitu banyak jemaah haji yang ke Saudi.
”Ribuan jemaah haji yang diperiksa saat itu. Tidak satu pun yang terkena virus MERS,” ujar Prof. Inge.
Demikian juga saat Tiongkok dilanda virus SARS. Indonesia nihil.
Hanya waktu ada wabah flu burung korbannya banyak. Saat itulah Unair berjaya: menemukan obat untuk mencegah flu burung.
”Sampai sekarang pun virus flu burung itu masih ada. Kita sering melakukan pemeriksaan atas ayam di pasar-pasar. Virus flu burungnya masih ada di ayam. Tapi tidak ada lagi orang yang terkena flu burung,” ujar Prof. Nyoman. ”Kita sudah kebal. Kekebalan tubuh untuk flu burung sudah muncul,” ujarnyi.
Prof. Nyoman ini lahir di Belitung. Ayah-ibunyi asli Bali. Saat itu orang tua bertugas di BRI Tanjungpandan.
Karir sang ayah melejit di Jakarta. Semua orang BRI tahu beliau: I Wayan Patra --pencetus ide kredit usaha tani tahun 1970-an. Beliau meninggal muda karena sakit ginjal. Setelah itu istri dan anak-anak pindah ke Bali.
Prof. Nyoman pun sekolah sampai SMA di Denpasar --dan akhirnya kuliah di Unair.
Walhasil, belum ada jawaban ilmiah soal penasarannya banyak orang itu.
Hanya humoris yang langsung bisa menjawab: virus itu tidak bisa masuk Indonesia karena perizinan di sini sulit! (dahlan iskan)