Orang NU yang punya kapasitas mengurus NU sebaiknya jadi pengurus NU. Tidak di pusat ya di wilayah atau di cabang atau di ranting. Tidak di NU ya di lembaga dan banom NU. NU punya banyak lembaga dan Banom. Artinya banyak ruang pengabdian. InsyaAllah berkah. Hadlratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari dawuh:
“Siapa yang mau ngurus NU saya anggap jadi santriku. Siapa yang jadi santriku, saya doakan husnul khatimah sekeluarganya.”
Pengurus NU itu yang benar-benar ngurus NU, bukan sekadar numpang nama. Dulu di masa orang-orang tua, termasuk orang tua saya, ngurus NU itu ya bikin undangan sendiri, diantarkan sendiri (pakai sepeda jengki), nyiapin ‘ubo rampe’ sendiri kalau ada kegiatan. Juga menginisiasi pengajian, ngontel, tanpa harapan bisyarah. Paling banter pulang dibawain berkat. Era sekarang organisasi sudah lebih maju, tetapi polanya hampir sama.
NU itu organisasi (jam’iyah), bukan sekadar komunitas (jama’ah). Tugas pengurus itu men-jam’iyah-kan jama’ah. Ber-NU itu bukan sekadar beribadah cara NU, tetapi juga berpikir dan bergerak cara NU. Yang beribadah cara NU bukan hanya NU. Banyak organisasi lain yang ubudiyah-nya sama dengan NU, tetapi bukan NU. Men-jamiyah-kan jama’ah NU artinya menyatukan amaliah, fikrah, dan harakah dalam satu tarikan nafas. Dan itu hanya bisa melalui kaderisasi. Ada lima jenis kaderisasi di lingkungan NU: kaderisasi struktural (MKNU), kaderisasi penggerak (PKPNU), kaderisasi calon syuriah (PPWK), kaderisasi fungsional, dan kaderisasi profesional. Sebelum ada jenjang kaderisasi resmi ini, kaderisasi telah dilakukan oleh banom-banom NU dengan banyak nama. Intinya kaderisasi.
Cara berpikir kader adalah cara berpikir jam’iyah, bukan sekadar jama’ah. Cara berpikir jam’iyah itu terprogram, terstruktur, institusional, sistematis. Ini jadi basis harakah. Semua pengurus NU dan banomnya harus mengikuti kaderisasi. Ini berlaku efektif tiga tahun sejak diputuskan di Muktamar ke-33 di Jombang 2015. Artinya, sejak tahun lalu (2018), hanya kader yang boleh menjadi pengurus NU, lembaga, dan banomnya. Sebelumnya, pengurus NU boleh diisi oleh ‘orang NU’, bukan kader NU.
Target jangka panjangnya adalah meng-kader-kan semua orang NU. Setelah itu, tidak ada lagi dikotomi NU kultural dan NU struktural. Orang NU itu pada akhirnya harus struktural semua: jadi kader dan siap jadi pengurus dan mengabdi di organisasi NU.
Sekarang PR NU masih banyak. Banyak orang merasa ber-kultur NU, tetapi tidak pernah mengikuti kaderisasi di lingkungan NU. Belum pernah ikut kaderisasi atau ikut kaderisasinya di tempat lain. NU-nya sekadar amaliah. Biasanya yang begini sulit diajak ber-fikrah dan ber-harakah NU. NU-nya fakultatif. Pas butuh mengaku NU. Selebihnya, tidak ikut NU. Jumlahnya lumayan banyak. Mereka sibuk mengaku dan minta rekom NU untuk suatu urusan. Setelah urusan selesai, tidak mau urus NU. Ada juga yang bahkan ikut ‘nimpukin’ pengurus NU ketika NU-nya kesandung masalah. Sedikitnya netral. Inilah penyakitnya orang NU: mengaku NU ketika mau menjabat dan diaku-aku NU ketika sedang menjabat. Umumnya mereka tidak punya loyalitas terhadap organisasi dan pimpinan. Loyalnya terhadap kepentingan.
Kalau kader mestinya lain. Ada atau tidak ada jabatan loyal kepada organisasi dan pimpinan. Bukan NU kambuhan atau musiman. Mau jadi pengurus yang mengurus, bukan malah jadi urusan. NU tidak butuh orang yang mengaku-aku NU atau diaku-aku NU. NU butuh kader. Dalam kondisi apa pun tetap kader, loyal kepada organisasi dan pimpinan.
Ber-jam’iyah adalah menjadikan semua orang NU sebagai kader NU. Ini yang sedang intensif dilakukan. Saya berharap, dalam seabad usia NU di tahun 2026, paling tidak separo orang NU sudah jadi kader NU, yang siap mengurus NU dalam kondisi lapang dan sempit, tidak kenal musim, tidak bergantung SK.
Penulis : M Kholid Syairazi