Oleh : A Yok Zakaria
Pemberian Rapor Merah terhadap Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa oleh aktivis Cipayung minus PMII tapi plus IMM yang saat ini sedang viral telah menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat, betulkah Gubernur Jatim gagal menangani Covid-19? Saya tidak punya kompetensi yang cukup untuk ikut-ikutan menganalisa sukses atau gagalnya Gubernur Jatim dalam menangani Covid-19, namun sekilas menurut saya penatalaksaaan pencegahan penyebaran Covid-19 di Jawa Timur on the right track. Jawa Timur adalah provinsi besar, padat dan penuh dinamika, capaian seperti saat ini dalam penanganan Covid-19 merupakan sesuatu yang luar biasa bagi Gubernur Khofifah.
Namun dalam catatan singkat akhir Ramadhan 1441 H ini saya ingin melihat dari sisi yang berbeda, yaitu disharmoni hubungan Gubernur Khofifah dengan para aktivis mahasiswa minus PMII, sehingga Gubernur Khofifah diberi rapor merah padahal sebenarnya tidak merah.
Adik-adik aktivis itu punya senior, kalau hubungan Gubernur Khofifah dengan para senior aktivis mahasiswa baik insya Allah tidak akan terjadi siaran pers seperti kemarin itu.
Oke mari kita sejenak melihat spion, kita lihat era Pakde Karwo. Pakde Karwo adalah seorang birokrat tulen (PNS) yang juga aktivis tulen, beliau adalah aktivis GMNI. Selama era Pakde Karwo para aktivis yang berada di Birokrasi Pemprov Jatim diberi peranan penting dan pos jabatan strategis, sebut saja jabatan Kepala BPKAD, Inspektur, Kepala BKD, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Biro Administrasi Kessos dll itu semua diberikan kepada para birokrat-aktivis seperi Anom Surahno (GMNI), Noerwiyatno (GMNI), Bawon Adhi Yithoni (HMI), Akmal Boedianto (HMI), Hizbul Wathon (PMII). Pakde Karwo tidak pernah membeda-bedakan antara HMI, PMII dengan GMNI sepanjang mereka tokoh aktivis pasti dirangkul dan diberi peranan penting.
Di era Khofifah rupanya tradisi berubah, beberapa pos penting jabatan birokrasi diberikan kepada gerbong alumni IPDN. Anak-anak muda baru berkarier 3 tahun misalkan, langsung dipromosikan mendahului para seniornya yang sudah puluhan tahun mengabdi bahkan hampir pensiun. Bahkan ngeri sekali melihat akun twitter anggota DPRD Jatim Mathur Husyairi, di mana ada salah satu alumni IPDN yang jelas-jelas melanggar disiplin ASN, bahkan sudah mendapat teguran dinas, ikut terangkut gerbong promosi sehingga membuat resah ASN lain yang rajin masuk kantor dan berkinerja baik.
IPDN adalah sebuah sekolah ikatan dinas Kementerian Dalam Negeri di Jatinangor Jawa Barat yang berseragam ala akademi militer dan memproduk lulusan birokrat Kemendagri. Kampus semi militer tersebut selain warisan orde baru juga merupakan warisan kolonial belanda yaitu OSVIA dan MOSVIA. Dosen IPDN sendiri, Inu Kencana Syafiie berkali-kali meneriakkan pembubaran IPDN, yang didukung oleh berbagai elemen masyarakat, tapi IPDN tetap berdiri kokoh. Mereka mempunyai jiwa korsa yang positifnya bisa untuk membangun semangat kerja tapi negatifnya bisa untuk membangun jejaring KKN yang kuat dan bisa menjatuhkan siapapun yang tidak mereka sukai. Masyarakat berpendapat, ini era otonomi daerah, bukan era kolonial, orde lama dan orde baru yang totaliter, IPDN sudah tidak relevan.
Pada era Khofifah, birokrat-aktivis kurang beruntung, sebagian mereka cukup berada di Bakorwil, walaupun sebagian yang lain terutama birokrat yang KAHMI masih menempati beberapa posisi strategis.
Saya yakin siaran pers seperti kemarin tidak akan terjadi kalau bisa dicegah oleh senior-seniornya terutama yang berada di dalam birokrasi pemerintahan. Inilah yang saya lihat dibalik semua ini, penglihatan saya belum tentu benar dan silahkan dikoreksi kalau saya salah.
*) Penulis adalah Wakil Ketua PW IKA PMII Jawa Timur
Artikel ini pernah terbit di www.wartamerdeka.info